SEJARAH
Wilayah cekungan Malang telah sejak masa purbakala menjadi kawasan pemukiman. Banyaknya sungai yang mengalir di sekitar tempat ini membuatnya cocok sebagai kawasan pemukiman. Wilayah Dinoyo dan Tlogomas diketahui merupakan kawasan pemukiman prasejarah.[2] Selanjutnya, berbagai prasasti (misalnya Prasasti Dinoyo), bangunan percandian dan arca-arca, bekas-bekas pondasi batu bata, bekas saluran drainase, serta berbagai gerabah ditemukan dari periode akhir Kerajaan Kanjuruhan (abad ke-8 dan ke-9) juga ditemukan di tempat yang berdekatan.[2][3]
Nama "Malang" sampai saat ini masih diteliti asal-usulnya oleh para
ahli sejarah. Para ahli sejarah masih terus menggali sumber-sumber untuk
memperoleh jawaban yang tepat atas asal-usul nama "Malang". Sampai saat
ini telah diperoleh beberapa hipotesa mengenai asal-usul nama Malang
tersebut. Malangkucecwara yang tertulis di dalam lambang kota itu,
menurut salah satu hipotesa merupakan nama sebuah bangunan suci. Nama
bangunan suci itu sendiri diketemukan dalam dua prasasti Raja Balitung dari Jawa Tengah yakni prasasti Mantyasih
tahun 907, dan prasasti 908 yakni diketemukan di satu tempat antara
Surabaya-Malang. Namun demikian dimana letak sesungguhnya bangunan suci
Malangkucecwara itu, para ahli sejarah masih belum memperoleh
kesepakatan. Satu pihak menduga letak bangunan suci itu adalah di daerah
gunung Buring,
satu pegunungan yang membujur di sebelah timur kota Malang dimana
terdapat salah satu puncak gunung yang bernama Malang. Pembuktian atas
kebenaran dugaan ini masih terus dilakukan karena ternyata, disebelah
barat kota Malang juga terdapat sebuah gunung yang bernama Malang. Pihak
yang lain menduga bahwa letak sesungguhnya dari bangunan suci itu
terdapat di daerah Tumpang, satu tempat di sebelah utara kota Malang. Sampai saat ini di daerah tersebut masih terdapat sebuah desa yang bernama Malangsuka,
yang oleh sebagian ahli sejarah, diduga berasal dari kata Malankuca
yang diucapkan terbalik. Pendapat di atas juga dikuatkan oleh banyaknya
bangunan-bangunan purbakala yang berserakan di daerah tersebut, seperti Candi Jago dan Candi Kidal, yang keduanya merupakan peninggalan zaman Kerajaan Singasari.
Dari kedua hipotesa tersebut di atas masih juga belum dapat dipastikan
manakah kiranya yang terdahulu dikenal dengan nama Malang yang berasal
dari nama bangunan suci Malangkucecwara
itu. Apakah daerah di sekitar Malang sekarang, ataukah kedua gunung
yang bernama Malang di sekitar daerah itu. Sebuah prasasti tembaga yang
ditemukan akhir tahun 1974 di perkebunan Bantaran, Wlingi,
sebelah barat daya Malang, dalam satu bagiannya tertulis sebagai
berikut : “………… taning sakrid Malang-akalihan wacid lawan macu
pasabhanira dyah Limpa Makanagran I ………”. Arti dari kalimat tersebut di
atas adalah : “ …….. di sebelah timur tempat berburu sekitar Malang
bersama wacid dan mancu, persawahan Dyah Limpa yaitu ………” Dari bunyi
prasasti itu ternyata Malang merupakan satu tempat di sebelah timur dari
tempat-tempat yang tersebut dalam prasasti itu. Dari prasasti inilah
diperoleh satu bukti bahwa pemakaian nama Malang telah ada paling tidak
sejak abad 12 Masehi. Hipotesa-hipotesa terdahulu, barangkali berbeda
dengan satu pendapat yang menduga bahwa nama Malang berasal dari kata
“Membantah” atau “Menghalang-halangi” (dalam bahasa Jawa berarti
Malang). Alkisah Sunan Mataram
yang ingin meluaskan pengaruhnya ke Jawa Timur telah mencoba untuk
menduduki daerah Malang. Penduduk daerah itu melakukan perlawanan perang
yang hebat. Karena itu Sunan Mataram menganggap bahwa rakyat daerah itu
menghalang-halangi, membantah atau malang atas maksud Sunan Mataram.
Sejak itu pula daerah tersebut bernama Malang. Timbulnya Kerajaan Kanjuruhan
tersebut, oleh para ahli sejarah dipandang sebagai tonggak awal
pertumbuhan pusat pemerintahan yang sampai saat ini, setelah 12 abad
berselang, telah berkembang menjadi Kota Malang. Setelah kerajaan
Kanjuruhan, di masa emas kerajaan Singasari (1000 tahun setelah Masehi)
di daerah Malang masih ditemukan satu kerajaan yang makmur, banyak
penduduknya serta tanah-tanah pertanian yang amat subur. Ketika Islam
menaklukkan Kerajaan Majapahit
sekitar tahun 1400, Patih Majapahit melarikan diri ke daerah Malang. Ia
kemudian mendirikan sebuah kerajaan Hindu yang merdeka, yang oleh
putranya diperjuangkan menjadi satu kerajaan yang maju. Pusat kerajaan
yang terletak di kota Malang sampai saat ini masih terlihat sisa-sisa
bangunan bentengnya yang kokoh bernama Kutobedah
di desa Kutobedah. Adalah Sultan Mataram dari Jawa Tengah yang akhirnya
datang menaklukkan daerah ini pada tahun 1614 setelah mendapat
perlawanan yang tangguh dari penduduk daerah ini.
Seperti halnya kebanyakan kota-kota lain di Indonesia pada umumnya,
Kota Malang modern tumbuh dan berkembang setelah hadirnya administrasi
kolonial Hindia Belanda.
Fasilitas umum direncanakan sedemikian rupa agar memenuhi kebutuhan
keluarga Belanda. Kesan diskriminatif masih berbekas hingga sekarang,
misalnya ''Ijen Boullevard''
dan kawasan sekitarnya. Pada mulanya hanya dinikmati oleh
keluarga-keluarga Belanda dan Bangsa Eropa lainnya, sementara penduduk
pribumi harus puas bertempat tinggal di pinggiran kota dengan fasilitas
yang kurang memadai. Kawasan perumahan itu sekarang menjadi monumen
hidup dan seringkali dikunjungi oleh keturunan keluarga-keluarga Belanda
yang pernah bermukim di sana.
Pada masa penjajahan kolonial Hindia Belanda,
daerah Malang dijadikan wilayah "Gemente" (Kota). Sebelum tahun 1964,
dalam lambang kota Malang terdapat tulisan ; “Malang namaku, maju
tujuanku” terjemahan dari “Malang nominor, sursum moveor”. Ketika kota
ini merayakan hari ulang tahunnya yang ke-50 pada tanggal 1 April 1964,
kalimat-kalimat tersebut berubah menjadi : “Malangkucecwara”. Semboyan
baru ini diusulkan oleh almarhum Prof. Dr. R. Ng. Poerbatjaraka, karena kata tersebut sangat erat hubungannya dengan asal-usul kota Malang yang pada masa Ken Arok kira-kira 7 abad yang lampau telah menjadi nama dari tempat di sekitar atau dekat candi yang bernama Malangkucecwara.
Kota malang mulai tumbuh dan berkembang setelah hadirnya pemerintah
kolonial Belanda, terutama ketika mulai di operasikannya jalur kereta
api pada tahun 1879. Berbagai kebutuhan masyarakatpun semakin meningkat
terutama akan ruang gerak melakukan berbagai kegiatan. Akibatnya
terjadilah perubahan tata guna tanah, daerah yang terbangun bermunculan
tanpa terkendali. Perubahan fungsi lahan mengalami perubahan sangat
pesat, seperti dari fungsi pertanian menjadi perumahan dan industri.
- Tahun 1767 Kompeni Hindia Belanda memasuki Kota
- Tahun 1821 kedudukan Pemerintah Belanda di pusatkan di sekitar kali Brantas
- Tahun 1824 Malang mempunyai Asisten Residen
- Tahun 1882 rumah-rumah di bagian barat Kota di dirikan dan Kota didirikan alun-alun di bangun.
- 1 April 1914 Malang di tetapkan sebagai Kotapraja
- 8 Maret 1942 Malang diduduki Jepang
- 21 September 1945 Malang masuk Wilayah Republik Indonesia
- 22 Juli 1947 Malang diduduki Belanda
- 2 Maret 1947 Pemerintah Republik Indonesia kembali memasuki Kota Malang.
- 1 Januari 2001, menjadi Pemerintah Kota Malang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar